Menjalani hidup baru di budaya asing, apakah bisa bertahan?
Lanjut yok kisahnya.
Besoknya aku bangun kesiangan, mungkin
karena penyesuaian waktu. Terjaga pukuL 8 pagi yang berarti di Sumbar masih jam
6, sebenarnya malu karena numpang tidur bangunnya telat lagi. Keluar dari kamar
ternyata Bu Sitti sudah sibuk di dapur, teh serta gorengan terhidang di meja.
Ku minum teh yang sudah dingin dilanjutkan nasi goreng .
Sembari menikmati sarapan yang ada bersama Bg Gung memutuskan untuk berkunjung
ke LPTQ. Melihat teman yang belum jelas kapan mau di jemput oleh kepala
sekolahnya. Meburut info masih ada sekitar 30 orang yang masih menginap di
sana.
Siang harinya kami berangkat
dengan ojek yang ternyata ada, biaya 30 ribu rupiah jarak tempuh kurang lebih
15 menit, mahal ya tapi tak apa. Untung ada transportasi di kondisi akses yang
susah. Kondisi LPTQ ramai, mereka tidur di ruangan besar satu untuk cowok dan
satu lagi cewek. Alas tidur didapat dari pinjaman salah seorang keluarga teman
yang ada yaitu ketua kami.
Hari dilalui penuh cerita dan
penuh tawa sekaligus mengenal kepribadian masing-masing. Kami yang masih stay,
ada yang sudah bertemu Kepsek tapi belum di ajak ke penempatan dan ada belum
dapat kepastian.
Oh iya, berhubung di tempatkan di
pulau, Aku menghubungi dosen pendamping yang mengantar ke Sorong. Memberi tahu
butuh pelampung untk berjaga dari kejadian diluar keinginan. Gayung bersambut,
langsung di data dan di belikan. Terima Kasih.
Kembali ke kondisi LPTQ, dua hari
berlalu masih di fasilitasi konsumsi dari dosen. Haripun dilewati, ada satu
hari kami pergi ke Pasar Remu, naik taksi dong, hehe. Hmm keren toh hidup SM3T Sorong,
mainnya taksi bukan angkot atau bus. Siapa bilang hidup di Papua itu susah, tuh
buktinya kemana-mana naik taksi, jauh dekat taksi. Wuihh pada kaya toh.
Dalam perjalanan bertemu seorang
tante yang katanya dari Makasar, berbagi ceritalah. Tiba di pasar, terjadi
debat antara Si Tante dengan sopir, beliau ingin kami di turunkan di terminal
sedangkan sopir mau turunkan di pasar bagian belakang. Tante maunya kami tidak
susah saat pulang nanti karena belum tahu arah dan kondisi pasar.
Akhirnya tetap turun di belakang dan Si Tante pun menemani kami ke dalam pasar,
memberi petunjuk jalan keluar dan cara pulangnya.
Alhamdulillah banyak yang peduli
walaupun kami baru di sini bahkan orang asing pertama bertemu.
Begitu banyak hal yang dilalui di
LPTQ, ada suka dan duka tapi lebih dominan sukanya. Duka yang di alami ya
paling habis duit buat jajan, tak lupa air sering mati.
Seiring berjalannya waktu
kekeluargaan semakin erat , saling menjaga dan melengkapi. Inilah kata orang “Cinta
akan tumbuh seiring berjalannya waktu”.
Klise tapi tak apa.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar