Pernahkah mempunyai seseorang belum kenal lama tapi terasa dekat? Tanpa menceritakan isi hati tapi saling mengerti? Aku punya cerita, yuk disimak!
Entah disebut teman atau apa, aku tak tahu menamai hubungan ini. Diawali pertemuan 2015, itu pun detail awalnya entah bagaimana. Tiada kesamaan, kedekatan dan latar belakang yang akan membuat satu. Semakin kesini, tak disadari style mirip tanpa perencanaan.
Permulaan kisah saat prakondisi, salah satu tes kecakapan hidup dalam rangkaian seleksi peserta untuk berangkat ke Sorong. Dimulai dari kamar yang tidak hanya beda kamar saja tetapi malah beda gedung dimana aksesnya lumayan jauh. Itu pun tidak hanya berdua saja kemana mana, selalu bertujuh. Memang klop aja, tak mengerti juga sih ada apa.
Keberangkatan ke Sorong, beda tempat duduk, pesawat tapi tetap aja ada momen. Seolah waktu mengerti kapan bisa bertemu serta bercengkrama. Tempat mengabdi di Sorong jauh berbeda , satu di kota hingga satu lagi jauh di pulau sana. Komunikasi kurang lancar, saling berkabar dan menanya keadaan minim sekali, tapi ya gitu kalau udah ketemu ya langsung santai aja.
Oh iya, Rizka Fadilla nama teman tersebut, jurusan Sosiologi lulusan Universitas Negeri Padang. Kepribadian kami tak sama. Pola makan berbeda, aku sangat menyukai sayur tapi dia tidak suka sama sekali. Cara berpakaian, aku senang memakai rok, penampilan feminim sedangkan satunya tomboi. Akan tetapi kenapa bisa satu pakaian bersama? Kenapa malah di bilang kembar? Entahlah, di cari pun persamaan tak ada.
Mungkin ini yang dinamakan saling melengkapi? Saling mengisi? Menutupi kelemahan masing-masing dengan perbedaan. Saat bersama menjadi hal serasi, tidak mengharuskan bercerita banyak. Apa yang dirasa, diperlukan seolah sudah tahu. Sungguh, bagian kosong atas kekurangan terisi penuh karena keberadaan teman sejalan. Kita tidak bisa menentukan siapa, jalani saja karena waktu akan menjawab.
Selesai pengabdian satu tahun, kami diberikan hadiah istimewa yang memang sudah dijanjikan. Kuliah kembali dalam program Pendidikan Profesi Guru (PPG) secara gratis. Kampus menempuh pendidikan lanjutan inipun tidak sama. Rizka di Universitas Pendidikan Indonesia (UPI), aku di Universitas Negeri Padang (UNP).
Terpisah lagi, di era teknologi yang sudah berkembang pesat. Jaringan lancar, koneksi tak terhambat tetapi komunikasi kami tetap sekedar saja. Bertanya kabar, lancar kuliahnya, kapan pulang, bagaimana di sana. Susah sekali untuk berkabar, hanya saja saat ada masalah selalu menemani dari jauh.
Alhamdulillah, kami diberi amanah mengabdi kembali hingga usia pensiun. Pengangkatan tahun 2019, sekolah penempatan sekarang jauh berbeda. Kebalikan kondisi saat di Sorong, aku daratan dikelilingi sawit sedangkan Rizka di pulau. Akses yang membutuhkan waktu dan mental yang kuat agar sampai di sana.
Tapi kok serasa satu "parasaian"?
Komunikasi sekarang tak memakai kata basa basi nanya kabar. Tanpa pendahuluan, langsungg to the point. Tugas, kondisi hati bahkan keluhan sama, saat bercerita seakan berbagi satu pikiran dan hati. Pertemuan pun tiada direncanakan. Eh pas ketemu, skip tanya kondisi, bercerita seolah baru bertemu kemarin.
Semoga hubungan ini akan selalu bertahan. Cukup saling mengisi kekosongan tanpa ikut campur kehidupan pribadi. Tetap menjalani pertemanan yang tidak memaksa untuk berbagi sampai salah seorang inisiatif membagi kisahnya. Kurangnya komunikasi dan tatap muka bukan penghalang kedekatan secara emosional.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar