Suatu sore aku bersantai dari padatnya aktivitas belajar yang berjalan dari pagi. Pemandangan senja dari atap asrama sangat indah. Sinar jingga sang surya mengintip melalui sela awan nan tipis. Pantulan cahaya keemasan di atas air laut membuatku terpesona untuk ke sekian kalinya. Mata seolah tak mau berpaling. Tak sadar entah sudah berapa lama waktu berlalu di sana.
‘Drrtt, drttt,” getaran ponsel
membuatku terkejut, terlihat sederet pesan manis di sana.
“Hai, selamat sore Adek.
Bagaimana perasaannya hari ini? Semoga selalu menyenangkan ya.”
Aku tersenyum tipis membaca pesan
singkat itu. Dia yang telah hampir sepuluh tahun ini menemani hari-hariku.Tidak
bisa terlukiskan momen yang telah dijalani bersama. Kisah cinta remaja semenjak
bangku sekolah menengah hingga lulus perguruan tinggi dan bekerja. Tepatnya
masa mencari pekerjaan yang tetap.
****
Satu dekade hubungan, tentunya
sudah memikirkan langkah selanjutnya apalagi usia juga semakin tua. Suatu hari
terjadilah percakapan serius.
“Dek, ayok menikah,” katanya
pelan.
“Abang serius? Kita belum bekerja
lo, belum punya penghasilan tetap,” jawabku.
“Nggak apa, Dek. Rejeki nantinya
pasti ada. Inikan abang juga sudah merintis usaha sendiri.”
Lama pembicaraan itu dibahas, aku
sebenarnya setuju dengan ide tersebut karena tidak mau lagi menjalani hubungan
yang tidak pasti ini. Menikah bukan hal mudah yang hanya selesai oleh dua orang
insan tapi menyatukan berbagai aspek berbeda dari kedua belah pihak.
Akhirnya sebulan kemudian aku
memberanikan diri berkata kepada orang tua bahwa dia ingin ke rumah. Disambut
baik oleh mereka hingga terjadi kesepakatan bulan Agustus akan melangsungkan akad.
Prosesnya tidak lancar, banyak kendala dan pertimbangan di tengah itu semua. Awalnya
dia sempat berkata jika tidak bulan Maret, dia tidak mau. Keinginannya tidak terwujud
karena orang tuanya tidak setuju mengingat persiapan dan lain halnya.
***
Alhamdulillah, tak lama keputusan
itu dibuat, aku mendapatkan pekerjaan. Jam kerja mulai setelah
Zuhur hingga pukul 9 malam, tidak ada hari libur. Komunikasiku dengan dia entah
kenapa tidak seindah dulu. Semua chat atau saat telfon pun, pembicaraan tidak
berjalan lancar. Hanya sekedar basa-basi bertanya kabar saja ditambah lagi waktu
luang kami tidak sama. Semakin sulit untuk bertemu membicarakan bagaimana
persiapan pernikahan. Semua halnya aku percayakan saja kepada keluarga besar.
Hari demi hari berlalu,
pertengkaran semakin sering terjadi hingga suatu ketika dikala tengah malam
menjelang. Tiba-tiba sebuah chat membuatku tercengang.
“Kita batalkan saja ya rencana
pernikahan ini.” Seolah tak percaya dengan apa yang aku baca, kembali satu
persatu kata aku pahami. Tidak bisa di terima akal sehat apalagi hati perkataan
itu. Bagaimana mungkin jalinan kasih sedemikian lama dan sudah berjanji akan diikat
dibatalkan begitu saja?
Perasaan tidak terima aku pendam
dahulu, mencoba bertanya apa masalahnya.
“Kenapa, Bang?” tanyaku.
“Belum siap,” jawabnya singkat.
Ah, tidak akan selesai jika hanya
chat saja, langsung aku telfon saat itu juga. Tetap kekeh awalnya dengan alasan
tidak siap menikah sekarang. Lalu kenapa kemarin itu ingin cepat? Kenapa saat
keluargaku sudah menerima apa adanya malah di kecewakan? Apa yang harus aku katakan
kepada orang tuaku?
Air mata mengalir dengan
sendirinya, deras. Berusaha meyakinkan agar tetap pertahankan rencana ini. Jika
alasannya hanya belum siap, tidak bisa aku terima. Bagaimana mungkin sekarang
saat semua sudah oke lalu tidak siap? Awalnya tidak mau menceritakan alasan
sebenarnya, tetap hanya kata itu yang keluar.
“Abang mempunyai wanita lain,”
lirih suaranya terdengar.
‘Deg,” sejenak seolah jantungku
berhenti berdetak. Kesalahan yang tidak akan pernah aku maafkan, pengkhianatan.
“Sudah lama Abang bertemu dia,
sebelum keluarga kita bertemu.” sambungnya.
“Adek lihat kan, postingan media
sosial dan status WA Abang, itu semua bukan untuk adek tapi untuk dia.”
Lama mulut ini terdiam, ingatanku
mulai berkelana ke setiap postingannya. Akhirnya aku sadar, ternyata hubungan
yang aku pertahankan selama ini hanyalah mainan belaka. Sudah lama mereka dekat
dan berhubungan, hanya aku yang bodoh.
***
Malam itu aku putuskan untuk
menutup buku cerita indah itu. Tak ingin lagi lanjut, aku minta keluarganya untuk
memutuskan janji secara baik-baik kepada keluargaku. Alasan sesungguhnya biarlah aku tutup
erat. Tidak apa jika hanya aku yang disakiti, tapi ini sudah melibatkan keluarga. Tak bisa di maafkan.
Buku itu aku tutup erat dan tak
akan sedikitpun ku buka kembali.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar