Adakah momen yang ingin kau lupakan?
Membuat seolah waktu itu tidak pernah ada.
Apakah penyesalan?
Ataukah momen yang di syukuri?
Setiap kejadian pasti memiliki penyesalan atau rasa syukur. Tergantung dari sisi mana menilai itu semua. Berbicara tentang itu, ada satu momen yang membuat saya terenyuh. Sebuah tindakan dari seorang siswa yang diiringin sebuah kata.
Kala itu adalah hari perpisahan kelas XII, saat melepas semua siswa untuk ke tingkat yang baru. Dia ialah seorang anak laki-laki yang telah saya temani sejak kelas X. Kenapa? Karena saat itu saya bertindak sebagai wali kelasnya. Anak yang saya perjuangkan untuk tetap bisa lanjut sekolah tanpa mengulang di kelas yang sama. Setiap akhir semester selalu berjuang melengkapi nilai, tugas dan hal lainnya agar tuntas. Keinginannya tidak tinggi, cukup memenuhi stndar naik kelas saja.
Anaknya sangat sopan, tidak pernah kurang ajar kepada guru. Tutur kata yang merendah dan mampu menempatkan diri sebagai pihak yang lebih kecil. Lalu apa masalahnya? "Saya nggak bisa bangun pagi, Buk," begitu jawabnya saat ditanya. Saya bisa apa? Jarak rumahnya dan sekolah cukup jauh serta tidak ada teman yang searah. Orang tua dia Subuh sudah berangkat untuk bekerja. Upaya yang saya lakukan ialah meminta anggota kelas untuk pagi-pagi menelfon agar segera bangun. Terkadang berhasil dan seringnya tidak masuk.
Alhamdulillah, sikap baik dan kegigihannya dalam melengkapi tugas membuahkan hasil. Selalu naik kelas hingga kelas XII dan tibalah saatnya berpisah. Ada rasa kebanggan tersendiri yang saya rasakan melihat dia sampai di tahap ini. Perlahan muncul kilas balik saat hampir 24 jam saya menghubunginya. Menemani menyelesaikan tugas hingga larut malam, bukan langsung tapi tetap terkoneksi lewat chat.
Tiba saatnya mengucapkan salam perpisahan, satu persatu siswa menyalami gurunya. Pelan penuh hari dan deraian air mata. Tibalah dia berdiri didepan, menyambut tangan dengan wajah tertunduk dalam, membungkuk sembari memegang erat tangan saya. Lama tanpa kata, sulit kiranya melepaskan tangan, ternyata tangisnya pecah saat dihadapanku. "Terima kasih, Buk," lirih terdengar suaranya. Saya usap pelan kepalanya dan berkata "semoga berhasil, Nak." Air mata yang sedari tadi saya tahan akhirnya jatuh.
Nasib baik, dibalik keraguannya untuk meneruskan pendidikan masih ada harapan saya untuk memberi motivasi. Akhirnya ikut seleksi perguruan tinggi, gagal pertama kali namun saya kuatkan lagi untuk mencoba. Rasa syukur tiada kira mendapatkan jurusan idaman di kampus idaman. Sampai hari ini masih rajin memberi kabar walau sekedar berkata "Lapar, Buk."
Good Luck untuk selanjutnya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar