Air mata itu terasa panas membasahi bantal. Muncul beberapa spekulasi apa yang tengah kurasa, kelelahan, deman tinggi dan lainnya. Perlahan getaran tubuhku menghilang, namun tidak bisa bergerak banyak. Semua teman khawatir tiada kira karena biasanya, aku yang tidak pernah mengeluh sakit tiba-tiba terbujur lemas.
Berhubung situasi sekre yang tidak kondusif untuk istirhat, disarankan malam itu untuk pindah ke rumah kontrakan Rizka yang mendapat sekolah penempatan tidak jauh dari sekretariat. Entah dapat pinjaman motor dari mana, aku diantar kesana.
Keesokan paginya, kondisiku belum pulih dan masih terbaring lemah. Ditemani oleh wakil ketua, berangkat ke Puskesmas Aimas.
Setelah menunggu antrian, tibalah giliran untuk konsultasi. Prosedur pemeriksaan telah selesai, kemudian berhadapan dengan dokter yang bertugas saat itu.
"Nama siapa?" tanya Bu Dokter
"Yati Bu"
Pertanyaan selanjutnya membuatku tercengang, "Miss atau Ms?"
Lah, memang kenapa ya? Apa karena hasil pemeriksaan awal menunjukkan gejela lain? Memang sih, pusing, mual, muntah dan tidak bisa makan tapi kan tidak harus ke arah sana. Apakah perasaanku saja yang salah atau memang ini pertanyaan dasar?
Pulang dari Puskesmas, kudapati obat general pereda panas. Esoknya karena tidak ada perubahan dan malah semakin parah. Mereka menyewa taksi, begitu panggilan angkutan umum disana untuk mengantarku ke RSUD Selebesolu. Perhatian yang tanpa banyak kata dan langsung action membuatku terharu dan merasa hangat. Yang sakit satu orang tapi pendamping enam orang, luar biasa.
Mereka menghandle semua, administrasi serta lainnya. Ternyata setelah diagnosa awal, Dokter menyuruh untuk tes darah di labor. Ku naik ke tempat pengambilan darah, tertatih. Tak lama sesudah sampel diambil, langsung keluar hasil pemeriksaannya. Kami terkejut karena prosesnya secepat itu, ternyata sampelku tertukar dengan pasien lain. Aneh saja, hasilnya demam berdarah dan sangat cepat hasilnya.
Apa ya sebenarnya yang tengah ku alami?
Satu jam kemudian hasil pemeriksaan darah keluar, pastinya memang punya diriku. Mendengarkan penjelasan dokter dan hasilnya adalah malaria jenis tropika tingkat dua. Waw, sungguh kejutan yang berhasil. Tak pernah terbayangkan akan mencoba juga penyakit endemik Papua ini. Untung segera dibawa ke Rumah Sakit, jika dibiarkan lebih lama akan semakin parah.
Alhamdulillah dikelilingi oleh orang-orang baik dalam menjalani pengabdian jauh dirantau. Begitu banyak rasa cinta yang saya rasakan. Abang satu penempatan sekolah yang diam-diam menangis melihatku sakit tidak berdaya. Dia bersusah payah mencarikan obat, makanan yang bisa kutelan. Dia tipe yang didepanku akan cerewet memberi ceramah kenapa begini, kenapa begitu.
Rizka, Pia dan Revi yang senantiasa mendampingi kala ku tak bisa apa-apa. Semua kebutuhan dipenuhi, rela tidak tidur, membersihkan tubuhku, menyiapkan makanan dan banyak hal lainnya. Entah bagaimana ku bisa membalas semua itu. Mereka bukan siapa-siapa, hanya orang asing yang bertemu empat bulan lalu. Tak lupa Ica juga, membuatkan brownis manis untukku yang tak selera makan.
Hanya mereka saja? Tentunya tidak, terima kasih untuk semua rekan SM3T UNP yang telah menjaga sehingga kubisa melewati itu semua. Mata khawatir kalian takkan pernah bisa ku lupa. Rentetan perhatian dan aksi nyata selalu terbayang saat ingat masa itu.
Love You All.